Charles Darwin mengemukakan konsep “survival of the fittest” yang simplenya dimaknai bahwa individu yang paling tanggap terhadap perubahan akan bertahan, Bahasa gaulnya..”yang kekinian lajut terus”. Dalam dunia otomotif konsep serupa dapat diterapkan, misalnya dalam satu genre motor terdapat berbagai macam merk, maka merk yang paling tanggap terhadap gimana maunya konsumen jelas akan
sustain…!!
Dan ketika menjajal Suzuki Satria di Sentul kemarin, ane kurang mendapati pelaksanaan konsep Darwin tersebut. Alih-alih tanggap dan menciptakan blue ocean market, Suzuki memilih bertahan dengan kembali me-refresh Satria si pemain lama. Bahasa gaulnya..”gagal move on”
Lho memang apa salahnya?
Ya gak salah sih, kalo boleh menatap Suzuki dalam-dalam.. varian Satria si bebek super yang mau diapain juga tetep aja masuk golongan unggas itu adalah tulang punggung kelangsungan hidup Suzuki, sehingga mungkin dari anal lisa para anal-yst Suzuki, mereka merasa layak mempertahankan varian bebek yang power-to-weight rationya terlalu besar itu – sehingga varian Satria haram hukumnya beredar di belahan Eropa karena dianggap mesin pembunuh.
Menanggapi serangan Honda Sonic dan Yamaha MX-King, Suzuki merasa perlu mempertahankan harga diri dengan tetap meneruskan klan Satria dengan dijejali fitur-fitur baru. Simplenya, Satria FI ini harus jor-joran total “membunuh” kompetitor sekelasnya, atau mati terlibas. Semoga saja Suzuki tidak lupa bahwa dengan kekuatan finansial yang lebih baik, Honda dan Yamaha siap melakukan strategi diversifikasi produk untuk menjepit dan membungkam Satria.
Bagaimanapun, kenyataan di sekeliling kita, hanya image Satria yang lekat dengan konotasi “kencang” yang masih mampu menarik minat konsumen, terutama para alay, ABG dan cabe hunter sebagai alasan untuk merengek ke orang tuanya agar bisa naik status sosialnya di masa muda..
Tanpa menghiraukan competitor yang menyuguhkan fitur baru (selain injeksi tentunya), sikap Suzuki tampak tegas, bahwa “lu jual fitur bla..bla..bla..gue tetap jual performa…!!”
Apakah hanya di Satria, sikap Suzuki demikian? Tampaknya tidak..kalau sekilas melihat varian lain, pernyataan sikap Suzuki terbilang konsisten. Lihat saja ketika PCX dan Nmaxmeluncur, mereka tetap memilih melenggang dengan Burgmann 200 si matic gambot yang harganya tinggi. Demikian pula ketika eforia motor 250cc memuncak, Suzuki memilih jalur sendiri dengan mengeluarkan Inazuma yang “aneh”. Demikian pula ketika merk lain sudah membenamkan “electronic riding aid”, Suzuki keukeuh dengan varian GSX-nya yang mengandalkan mostly keterampilan rider untuk mengendalikan tenaga buas sang motor.
Okeh, balik bahas si bebek Satria FI ini, kesan pertama yang ane dapat seusai menjajal 5 lap Sentul adalah sebagai berikut:
- Untuk kelas bebek, motor ini kencang, sangat kencang…!! Begitu kencangnya sampai pada satu titik dimana angin berhembus di kecepatan sekitar 110 km/jam, ane mulai mikir kenapa mesin segila ini ditempelkan ke motor bebek.
- Diprediksikan bahwa setelah launching Satria FI, akan banyak jatuh korban terutama dari alay dan ABG yang gagal mengendalikan bebek liar ini.
- Image Satria FI sebagai motor kencang akan semakin tebal, tanpa peduli competitor mau keluarin motor dengan fitur baru apapun, semua kalah oleh image “kencang”..karena disinyalir konsumen di kelas ini masa bodo dengan fitur..yang penting sekali lagi “kencang”.
Bagaimana ane bisa menggambarkan betapa kencang sekaligus berbahayanya motor ini di tangan mereka yang fakir safety?
Bayangkan “nafas” di tiap range gear motor ini yang begitu panjang, terutama ketika memasuki gear 3 ke atas, rasanya setiap pelintiran throttle mengajak rider untuk menambah kecepatan, bahkan ketika ujung red line tercapai, masih ada saja torsi yang dapat digali untuk meningkatkan speed. Di trek lurus Sentul, rider dengan bobot 100++ kg seperti ane masih sanggup dibawa lari si bebek ini di kecepatan 118 km/jam dengan catatan GPS Tracker sebesar 101 km/jam, dn masih bisa tancap gas lagi kalua treknya masih ada.
Hal ini berbeda ketika ane menjajal Satria FU 2015 yang juga disuguhkan, ada rasa “tertahan” ketika berada di RPM 8000 ke atas, yang mana tidak dirasakan di Satria FI.
Definisi kencang selanjutnya dibuktikan dengan drag 100 m yang mampu ditempuh dalam 6.9 detik saja, itu pun oleh test rider blogger, bukan professional rider.
Oh iya, dalam test ride kemarin semua Satria FI dalam kondisi standar pabrikan, klaim Suzuki.
Uniknya, seusai test ride datanglah cuk..ucuk..ucuk..seorang jurnalis dengan membawa Yamaha Xabre yang rupanya baru dilaunch di Sentul kecil. Singkat cerita, kami semua penasaran dan sempat mencoba beberapa kali keliling di pelataran paddock Sentul. Kesan pertama menjajal Xabre simple saja..
- Ganteng tapi kekecilan bodinya, cocok buat rider bertubuh mungil.
- Gak ada larinya.
Kesan finale yang ane dapat hari itu..”andai saja ada motor dengan bodi Yamaha Xabre namun dengan keperkasaan mesin Satria FU, pasti akan digilai konsumen..”
Last but not least, semoga Suzuki tidak melulu mikirin Satria sehingga abai terhadap lini produk mereka yang lain.
woh build qualitynya makin sip…??
mudah mudahan ada versi sportnya…
dulu suzuki dg satrianya boleh santai di kelas ini.tp sekarang sdh ada sonic ,mx king yg merebutkan segmen ini yg kira2 cuma 15 ribu per bulan. dg penjulan yg kira2 cm 5ribuan, apa suzuki bs survive?
jual kencang doang bkn jaminan paling laris.
honda dan yamaha sdh punya basic penggemar yg gak gampang goyah
inazuma aneh tapi keren
langsung brojol artikelnye…
blon rilis udh tes ride… bloger papan gipsum nih
Bah..bener juga..salah timing ane
Semoga mesin satria menemukan jodoh yg tepat seperti body xabre…
beneran ngeri nih bayangin si satria. ngangkut beruang aja enteng banget larinya
kak benny kapan kita-kita ditraktir hasil amplopan nih…
300ribu entuk opo kang jomblooo
Alhamdulillah sudah move on dari kelas 150cc
indenn,,
ndelok nek numpak SaeF koyo opo